Apakah Istri Mesti Menjadi “Khadijah,” Sementara Suami Bukanlah “Muhammad?”

Oleh : Puspita Satyawati

Dalam sebuah kajian Muslimah, seorang jama’ah bertanya, “Ust, apakah kita harus menjadi seorang “Khadijah? Sementara suami kita bukanlah sosok “Muhammad?”

Lalu ia mengisahkan tentang suami yang kurang optimal dalam menjalankan kewajiban menafkahi sehingga istri yang pontang-panting bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga.

***

Ini bukanlah pertanyaan kali pertama yang diajukan. Pun bukanlah kisah awal yang terdengar. Di antara gado-gado curahan hati para emak, masalah ini cukup mengemuka.

Yah, tiap rumah tangga pasti menyimpan airmata. Tak ada satupun keluarga terbebas dari nestapa. Allah Swt menganugerahkan ujian dari berbagai pintu sekehendak Dia pinta. Bahkan dari arah yang tak kita sangka.

Ujian hidup bisa dari berasal dari pasangan, anak, mertua, menantu, orangtua, teman, tetangga, dst. Atau bahkan dari orang yang kita tak tahu dia siapa.

***

Menyikapi sosok suami yang belum optimal menjalankan perannya, istri mesti bersabar. Tak mudah memang. Apalagi sabar itu tak berbatas. Mudah dinasihatkan, sulit dilaksanakan. Tapi kala itu adalah kunci penyelesaian, mengapa tak diupayakan?

Sabar bukanlah pasrah. Tapi bermakna menahan gejolak kepedihan di dada sambil terus berupaya menyadarkan suami akan tanggung jawabnya. Disentuh pikir dan rasanya, tak ibakah saat menyaksikan sang tulang rusuk telah berubah menjadi tulang punggung?

Sembari tak putus berharap dalam doa kepada-Nya. Sang pembolak-balik kalbu tiap hamba. Minta kepada Allah untuk menetapkan hatinya pada kebenaran dan ketaatan. Termasuk tekad kuat melaksanakan berbagai peran dan kewajiban sebagai suami dan ayah bagi keluarga. Untuk Menjalankan sebagian perintah-Nya.

***

Jika suami belumlah menjadi “Muhammad,” bukan berarti kita berhenti berproses menjadi “Khadijah.” Sosok idaman dengan berbagai keistimewaan. Pendamping setia. Ibu penyayang. Pejuang Muslimah yang mendermakan seluruh harta di jalan dakwah.

Apalagi setiap hamba kelak akan dihisab sesuai amalannya. Meski di dunia, suami/istri adalah pasangan hidup kita, tapi kelak kita akan bertanggung jawab atas amalan masing-masing. Suatu hari, saat mulut terkunci dan kata tak ada lagi. Berganti tangan dan kaki yang bersaksi.

Tetaplah menjadi “Khadijah.” Semoga tekad, semangat dan keshalihahan kita menjadi inspirasi bagi pasangan untuk bersedia berproses menjadi sosok “Muhammad” juga.

Wallaahu a’lam.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *