Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah status di media sosial yang cukup mengagetkan.
Status itu kurang lebih bunyinya sebagai berikut :
Menurut Data Ngasal, 99% Istri Kecewa karena Suami Tidak Sesuai Ekspektasi.
Saya tidak mencatat atau merekam layar status tersebut. Juga tidak ingat siapa yang mempostingnya, sehingga tidak bisa mengeceknya kembali. Jadi mohon maaf jika kalimatnya tidak tepat 100% persis sama. Tapi seingat saya seperti itu bunyinya.
Apakah para istri memang banyak yang kecewa terhadap suaminya? Jika disebut 99%, berarti dari setiap 100 pasangan, hanya 1 orang istri yang puas terhadap suaminya. Ini data yang luar biasa, jika benar faktanya seperti itu. Tentu harus menjadi evaluasi besar-besaran bagi para mak comblang yang membantu proses taaruf. Jangan-jangan data yang diberikan di masa taaruf adalah data hoax? Sehingga muncul para suami yang tidak sesuai ekspektasi? Tentu saja saya sangat berharap data tersebut salah besar.
Sebenarnya tentu boleh saja kecewa. Ini suatu hal yang manusiawi. Tapi, apakah bijak bersikap kecewa terhadap suami? Apakah bijak pula menulisnya di media sosial? Siapa yang salah jika ada istri yang kecewa terhadap suaminya?
Mari kita runut dulu satu per satu.
Kata ekspektasi merupakan adaptasi dari bahasa Inggris yaitu expectation. Maknanya adalah mengharapkan, menduga, ataupun menyangka. Sehingga bisa kita artikan bahwa ekspektasi merupakan suatu harapan sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang.
Seorang perempuan yang berekspektasi terhadap laki-laki, berarti ia menduga dan berharap suaminya akan menjadi seperti harapan dia. Bisa jadi sisi faktor ekonomi yang bagus, sisi romantisnya, atau bisa jadi pula hal-hal lainnya.
Ekspektasi tentu tidak bisa asal-asalan. Ada alasan-alasan tertentu yang harus digunakan sehingga muncul ekspektasi. Di sinilah pentingnya taaruf. Sebelum menikah, ada proses taaruf dulu. Dalam proses itu, bisa diketahui berbagai hal penting tentang laki-laki yang ingin melamarnya tersebut, misalnya :
- Penghasilannya berapa?
- Ibadahnya bagaimana?
- SIkapnya terhadap ibunya bagaimana?
- Intelektualitasnya bagaimana?
- Kemampuan managemennya bagaimana?
- Dan lain sebagainya, sampai yang sifatnya pribadi sekalipun bisa diketahui.
Oleh karena itu, jika ada istri yang kecewa terhadap suami, menurut saya itu sebenarnya sikap yang kurang bijak. Mengapa dulu waktu taaruf tidak menggali fakta dengan baik dan benar? Begitu juga para suami. Sangat mungkin juga ada suami yang kecewa terhadap istrinya. Maka yang salah ya si suami itu sendiri. Mengapa dulu tidak melakukan taaruf dengan baik?
Bisa jadi ada seorang istri yang kecewa terhadap suaminya. Tapi tahukah kita, siapa tahu sebenarnya laki-laki tersebut bisa menjadi suami istimewa bagi perempuan lain?
Bisa jadi ada seorang suami yang kecewa terhadap istrinya. Tapi tahukah kita, siapa tahu sebenarnya perempuan tersebut bisa menjadi istri istimewa bagi laki-laki lain?
Oleh karena itu, alangkah baiknya kita tidak memposting kekecewaan terhadap pasangan di media sosial, baik istri ataupun suami.
Pasangan kita pilih karena pilihan sadar kita sendiri. Artinya jika kita kecewa, maka kecewalah terhadap diri kita sendiri. Salahkan diri kita sendiri, mengapa dulu memilihnya? Bukan menyalahkan pasangan yang sudah kita pilih.
Jadi pernyataan yang lebih bijak adalah sebagai berikut :
Istri kecewa terhadap keputusannya dulu menerima lamaran laki-laki tersebut.
Suami kecewa terhadap keputusannya dulu melamar perempuan tersebut.
Apa perbedaan antara istri kecewa terhadap suami vs istri kecewa terhadap keputusannya dulu?
Apa perbedaan antara suami kecewa terhadap istri vs suami kecewa terhadap keputusannya dulu?
Perbedaannya adalah, siapa objek yang disalahkan.
Istri kecewa terhadap suami berarti menyalahkan suami.
Sementara istri kecewa terhadap keputusannya dulu adalah menyalahkan diri sendiri.
Suami kecewa terhadap istri berarti menyalahkan istri.
Sementara suami kecewa terhadap keputusannya dulu adalah menyalahkan diri sendiri.
Marilah kita belajar menyalahkan diri sendiri, bukan menyalahkan orang lain. Walaupun itu pasangan kita sendiri. Stop menyalahkan pasangan kita sendiri. Selalu salahkanlah diri sendiri. Inilah sikap yang bertanggung jawab. Menyalahkan orang lain selalu saja mudah. Sementara menyalahkan diri sendiri itu selalu sulit.
Selain itu, hendaknya kita menghentikan posting sesuatu yang tidak berdasarkan data yang benar, misalnya data “ngasal”. Data ngasal bisa diartikan data asal-asalan. Bukan data yang berbasis penelitian. Data ngasal jelas bukan sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan. Sementara tulisan/status yang kita tulis di media sosial dan bisa dibaca jutaan orang itu ada pertanggungjawabannya di dunia dan akhirat. Pertanggungjawabannya bisa sangat berat sekali. Sanggup?
Apa ada dampak psikologisnya jika kita posting data ngasal tersebut? Bisa jadi ada dampaknya. Mungkin akan muncul sikap “Oh, Aku banyak temannya ya kecewa terhadap suami. Jadi sikapku kecewa terhadap suami adalah sikap yang wajar dong.” Padahal belum tentu. Sangat mungkin ada banyak sekali istri yang bangga terhadap suaminya. Sangat mungkin ada banyak sekali istri yang puas luar biasa terhadap suaminya.
Kita harus sadar bahwa tidak ada manusia biasa yang sempurna. Suami dan istri adalah manusia biasa, tentu tidak sempurna. Pasti mudah dicari-cari kekurangannya. Bahkan tidak perlu dicari-cari, pasti mudah ditemukan kekurangannya. Tapi hendaknya, hal itu tidak kita jadikan sebagai alasan untuk kecewa terhadap pasangan. Suami jangan kecewa terhadap istri. Begitu pula sebaliknya, istri jangan kecewa terhadap suami.
Belajarlah mencari-cari kelebihan pasangan kita. Temukan kelebihan pasangan kita. Terus cari sampai ditemukan sebanyak-banyaknya kelebihan pasangan kita. Kalau perlu, tulislah berbagai kelebihan itu dalam suatu daftar. Tanamkan kelebihan-kelebihan itu dalam benak kita. Misalnya :
“Suamiku adalah anak yang sangat mencintai ibunya.”
“Istriku adalah perempuan yang sangat sayang terhadap anak-anaknya.”
Pasangan kita adalah pilihan kita sendiri. Banggalah dengan pasangan kita. Banggalah dengan pilihan kita. Wujudkan rumahku surgaku. Dimulai dengan bersikap menerima pasangan kita sebagai manusia biasa. Bisa salah, bisa benar. Kalau salah mari diluruskan, kalau benar ya didukung.
Demikian semoga bermanfaat. Semoga kita semua bisa mewujudkan Rumahku Surgaku.
Farid Ma’ruf – Founder Komunitas Baiti Jannati.
(www.baiti.my.id)