Oleh : Farid Ma’ruf
BaitiJannati — Ketika zaman saya sekolah, surat cinta dengan kertas masih cukup favorit digunakan remaja-remaja yang mabuk cinta. Maklum, waktu itu belum zamannya sms, telepon, apalagi email. Telepon kabel memang sudah ada, tapi masih sangat sedikit yang punya. Kami sendiri baru memiliki telepon dari Telkom baru pada sekitar awal tahun 2000-an. Itu pun proses pendaftarannya lama sekali. Maka wajar jika pada waktu itu surat cinta dengan kertas adalah salah satu media yang favorit digunakan.
Surat cinta itu biasanya ditulis di kertas yang berwarna menarik seperti warna pink, serta berbau wangi. Amplop yang digunakan juga wangi. Kadang diserahkan langsung, kadang dititipkan teman, kadang diam-diam diselipkan di dalam buku catatan atau buku pelajaran si target. Modusnya sih, pinjam buku catatan.
Surat cinta model seperti ini bukan berarti tanpa resiko. Jika diserahkan langsung kepada si target, maka si remaja laki-laki (yang menulis surat) harus mengumpulkan segenap keberanian untuk menyerahkannya. Jika diterima, ya tentu senang. Tapi alangkah malunya jika ditolak. Sementara itu, jika dititipkan teman, maka resikonya adalah ketahuan teman, dan akhirnya menyebar kemana-mana. Lebih malu lagi kalau semua orang tahu, dan jawabannya ditolak. Jalan agak moderat adalah dengan diam-diam diselipkan dalam buku catatan. Cara ini nampak lebih aman karena tidak harus bertemu langsung si target ketika penyerahan surat, tapi juga tidak ada teman yang tahu. Walaupun demikian, resikonya tetap ada, yaitu surat jatuh, dan belum dibaca si target.
Pada waktu itu, saya juga ingin rasanya surat-suratan sama pacar. Sepertinya kok keren ya, surat-suratan sama pacar. Saya duga rasanya tentu bahagia dan senang. Ada gadis pujaan yang bisa menjadi tempat berbagi dan saling rindu. Sayangnya, pada waktu itu saya tidak punya pacar. Bagaimana bisa punya pacar, mau mengungkapkan cinta saja tidak berani. He he he. Tapi alhamdulillah, sekarang saya benar-benar bersyukur bahwa pada waktu itu Allah jauhkan saya dari pacaran.
Itulah surat-suratan model zaman dahulu. Sekarang semenjak hadirnya teknologi sms, telepon/handphone, email, chatting, maka model-model konvensional seperti di atas mungkin sudah semakin ditinggalkan.
Tapi, dalam masalah cinta tetap saja sama. Laki-laki dan perempuan yang mabuk cinta biasanya akan tetap surat-suratan juga. Entah via sms, bbm, whatsapp, chatting, email, dan lain-lain. Sayangnya, banyak remaja kita yang tampaknya masih belum tahu (atau malah tidak mau tahu) tentang hukum pacaran. Jadinya, diawali dari sms-an atau chatting, bisa berujung kepada seks bebas. Banyak sekali kejadian menyedihkan terkait hal ini. Termasuk berita beberapa waktu yang lalu mengenai mahasiswi sebuah universitas yang disetubuhi kemudian dibunuh oleh pacarnya sendiri. Pacarnya itu dikenal melalui media jejaring sosial, kemudian mereka saling berkomunikasi via pesan di jejaring sosial serta handphone.
Surat Cinta yang Syar’i
Oleh karena itu, jika kita ingin merasakan bagaimana sensasi nikmatnya surat-suratan secara aman dan syar’i, ya lakukanlah dengan pasangan yang halal, yaitu suami/istri. Jangan dengan pacar! Lho, kalau sudah halal, untuk apa surat-suratan sama istri sendiri? Bukankah bicara langsung juga bisa. Kurang kerjaan saja…
Boleh saja kita berpikir demikian. Tetapi dalam prakteknya, ada situasi tertentu yang membutuhkan kita surat-suratan dengan istri. Misal suami sedang ada aktivitas di luar rumah, kemudian istri menghubungi via sms. Sms itu sendiri sebenarnya adalah surat, tapi pendek, sehingga dinamakan sms alias Surat Mung Sethithik . Bisa juga ketika sedang ada momen khusus yang istimewa, misalnya ulang tahun pernikahan. Dalam kado yang kita berikan untuk istri, apa hanya kado saja tanpa surat cinta di dalamnya?
Nah, di sini pelajaran sastra atau puisi boleh bahkan perlu kita praktekkan. Puisi cinta untuk istri tercinta. Surat cinta untuk suami tercinta. Jurus-jurus rayuan yang tidak gombal boleh dilancarkan. Harapannya, cinta akan terus tumbuh dan makin kuat, bukan makin layu. Surat-surat tersebut juga akan menjadi tanda cinta yang tidak terlupakan, berbeda dengan kata-kata yang cenderung lebih mudah kita lupakan. Dengan surat cinta, maka kita juga ada kesempatan untuk berpikir, apa kata-kata indah terbaik yang akan kita berikan untuk orang yang sangat kita cintai.
Seperti apa yang saya alami beberapa hari yang lalu. Suatu malam saya berangkat pengajian. Di dalam buku yang akan saya bawa pengajian, istri saya diam-diam menyelipkan sebuah surat cinta. Surat diselipkan tepat di halaman yang akan saya kaji pada malam itu. Harapannya, tentu agar saya temukan dan saya baca.
Sayangnya, entah karena apa, surat cinta itu jatuh sebelum saya sempat baca. Jatuh ketika saya masih di rumah. Istri saya pun bertanya-tanya, apakah saya sudah membaca surat ini? Dalam rasa ingin tahu yang besar, istri saya tidur bersama anak-anak.
Ketika saya pulang, saya lihat istri dan anak-anak sudah tertidur dengan nyaman. Rasanya tidak baik jika saya bangunkan istri. Maka saya pun segera melanjutkan aktivitas dengan berduaan dengan istri kedua saya (laptop).
Dua minggu kemudian, ketika saya akan berangkat menghadiri undangan walimahan, saya mencari-cari amplop untuk menaruh uang sumbangan. Kebetulan waktu itu saya berangkat ke acara walimahan tanpa bersama istri karena istri ada agenda dakwah yang tidak bisa ditinggalkan. Ketika sedang mencari-cari amplop itulah saya menemukan surat cinta yang belum sempat saya baca tersebut. Saya tidak tahu, surat ini sebenarnya ditulis kapan. Rasa ingin tahu pun muncul. Dan bahagia ternyata di situ ada ungkapan rasa rindu dari istri tercinta.
Tertarik menulis surat cinta? Tidak perlu menunggu momen khusus dan istimewa sekali untuk memulainya. Cobalah, dan rasakan sensasinya! (www.baiti.my.id)