Oleh: Khafidoh Kurniasih
Kehamilan adalah suatu peristiwa istimewa. Kehamilan yang diinginkan dan direncanakan akan membawa kebahagiaan. Sebaliknya, kehamilan yang tidak direncanakan, apalagi tidak diinginkan acapkali menjadi beban berat bahkan penderitaan bukan hanya bagi perempuan hamil tersebut tetapi juga keluarganya. Kehamilan tidak diinginkan bisa terjadi karena kegagalan kontrasepsi atau kehamilan di luar pernikahan.
Kehamilan tidak diinginkan erat kaitannya dengan ketidaksiapan perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu. Banyak faktor yang melatarbelakangi ketidaksiapan ini. Di antaranya: tidak siap secara fisik, tidak siap karena kehamilan dianggap akan menghambat pencapaian yang ingin diraih (misal: pendidikan, karir), serta ketidaksiapan menghadapi komentar lingkungan, terutama pada kehamilan di luar pernikah yang dianggap tabu oleh masyarakat. Dampak dari ketidaksiapan ini, si perempuan dapat mengalami depresi, terpuruknya keluarga besar perempuan, hingga perlakuan buruk pada bayi kelak ketika terlahir.
Untuk menghindari dampak buruk ini, aborsi seringkali menjadi jalan pintas. Namun, karena aborsi masih dianggap sebagai tindakan illegal bahkan tindak kriminal, pilihan aborsi justru menimbulkan lebih banyak masalah, seperti kematian atau masalah kesehatan lebih besar bagi si perempuan karena aborsi tidak bisa dilakukan oleh tenaga professional di fasilitas kesehatan yang memadai.
Prihatin atas kondisi tersebut, sebagian kalangan mengusulkan untuk melegalisasi tindak aborsi, demi melindungi nyawa para perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Logikanya, toh kalau pun kehamilan tetap dipaksa dilanjutkan, bukan hanya kualitas hidup si perempuan yang menurun tetapi masa depan bayi juga terancam karena orang tuanya tidak menginginkan sehingga mustahil dapat merawat dan memberikan kasih sayang sebagaimana mestinya. Lebih baik mengorbankan satu kehidupan (yang bahkan belum terlahir) daripada mengorbankan dua kehidupan atau lebih.
Sekilas tentang Fakta Aborsi
Aborsi yang dibicarakan dalam tulisan ini adalah upaya menghentikan kehamilan secara sengaja sebelum janin mampu untuk hidup di luar kandungan atau yang biasa disebut abortus provocatus.
WHO dan Guttmacher Institute menemukan bahwa regulasi yang ketat dapat menurunkan angka aborsi, tetapi penerapan hukum tersebut lebih seperti pemaksaan. Diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 56 juta tindakan aborsi di seluruh dunia pada 2010-2014.
Gilda Sedgh, pemimpin penelitian Guttmacher Institute di Amerika Serikat menyatakan bahwa Lebih dari 80% kehamilan yang tidak diinginkan terjadi pada wanita yang tidak bisa mendapatkan alat kontrasepsi yang mereka butuhkan.
Para peneliti menemukan bahwa pada 1990-2014, tingkat aborsi tahunan di dunia per 1.000 wanita usia subur (15-44 tahun) turun dari 46 ke 27. Penurunan angka aborsi sebagian besar didukung oleh peningkatan penggunaan kontrasepsi modern yang memungkinkan para wanita mengontrol waktu kelahiran dan jumlah anak sesuai yang mereka inginkan. Penurunan jumlah aborsi di Eropa yang lebih dari separuh berkontributsi besar dalam penurunan tingkat aborsi dunia seiring dengan semakin terjangkaunya metode kontrasepsi modern oleh masyarakat luas.
Namun, di negara miskin, angka tindakan aborsi hampir tidak berubah dari 39 ke 37 dari 1.000 wanita. Penelitian ini juga menemukan bahwa penurunan di kota yang melegalkan dan melarang tindakan aborsi sama besarnya. Ketika aborsi dilarang sama sekali atau hanya diizinkan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu, tingkat aborsi berada di 37 per 1.000 wanita. Sementara itu, di negara yang melegalkan aborsi, tingkat kejadian mencapai 34 per 1.000.
Penelitian yang dilakukan olehAustralia Concortium For In Country Indonesia Studies (2013) menunjukan di 10 kota besar dan 6 kabupaten di Indonesia terjadi 4 aborsi per 100 kelahiran hidup. Aborsi tersebut dilakukan oleh perempuan di perkotaan sebesar 78% dan perempuan di pedesaan sebesar 40% (CNN, 2014). Pada tahun 2015 didapatkan jumlah abortus berdasarkan data profil kesehatan Sumatera Barat sebanyak 3.359 orang, jumlah ini meningkat tajam dari tahun 2009 yaitu sebanyak 2.123 orang. Tercatat untuk kota padang ada 339 kasus abortus pada tahun 2015 (Dinkes Sumbar, 2015).
Di Indonesia, menurut Sarlito (2000) yang dikutip oleh Fara Juliana BS dalam Skripsinya (2017), faktor yang mendorong terjadinya aborsi adalah faktor ekonomi, terlalu banyak anak, faktor sosial yang meliputi terancam terhentinya proses pendidikan, malu terhadap lingkungan, terganggunya karir, serta tidak ada yang akan mengasuh bayi.
Tinjauan Fiqh Seputar Aborsi
Aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh ditiupkan (usia kehamilan 4 bulan). Yang disepakati ulama adalah keharaman aborsi setelah ditiupkan ruh berdasarkan dalil – dalil berikut:
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-An’aam [6]: 151).
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-Isra` [17]: 31).
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (Qs. al-Isra` [17]: 33).
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)
Ada pun mengenai aborsi sebelum peniupan ruh, maka ulama berbeda pendapat. Akan tetapi menurut pendapat Syaikh Abdul Qadim Zallum (1998) dan Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniu¬pan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam: Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman 45-56; Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi Saw berikut:
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…” [HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a.].
Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda:
“(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam…”
Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah sete¬lah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.
“Rasulullah Saw memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…” [HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah r.a.] (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
.
Rasulullah Saw telah membolehkan ‘azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak mengingin¬kan budak perempuannya hamil. Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
“Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka!” [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].
Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:
“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 32) .
Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah Saw telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” [HR. Ahmad].
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:
“Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima”
“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
Aborsi Bukan Sekadar Masalah Medis atau Fiqh
Permasalahan aborsi tidak bisa hanya dilihat dari segi halal-haram, apalagi sebatas aman-tidak aman secara medis. Aborsi hanyalah salah satu indikator dari keruwetan permasalahan yang melingkupi kehidupan masyarakat. Maka untuk menyelesaikannya, terlebih dahulu harus diurai serangkaian kondisi yang mengantarkan pada pilihan aborsi.
Adanya aborsi yang dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi setidaknya menunjukkan 2 (dua) permasalahan utama:
Pertama: kerapuhan akidah masyarakat sehingga tidak yakin bahwa ALLAH telah menjamin rizki bagi setiap makhluk-NYA.
Kedua, kegagalan negara dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya sehingga penambahan anggota keluarga dianggap sebagai beban ekonomi.
Selain itu, berbagai faktor sosial yang mendorong terjadinya aborsi pada kehamilan di luar pernikahan, menunjukkan secara pasti ada kerusakan dalam sistem pergaulan dan sosial di masyarakat. Kerusakan itu di antaranya telah lazimnya interaksi laki-laki ajnabi dan perempuan ajnabiyah di luar inetraksi yang diizinkan oleh syari’at, menjamurnya konten-konten yang berpotensi menimbulkan rangsangan seksual tetapi pada saat yang sama jalan menuju pernikahan justru dipersulit, serta masyarakat yang cenderung permissive dan individualis sehingga tidak ada kontrol dari masyarakat atas pergaulan laki-laki dan perempuan yang menjurus pada aktivitas seksual di luar pernikahan.
Oleh karenanya, menyediakan fasilitas yang memadai (termasuk fasilaitas kesehatan dan payung hukum) untuk melakukan aborsi yang aman bukanlah solusi. Justru berpotensi menimbulkan permasalahan lanjutan. Solusi untuk permasalahan yang ditimbulkan oleh aborsi tidak aman adalah dengan membenahi seluruh faktor yang membuka peluang adanya pilihan aborsi, termasuk dalam asepek ekonomi, sistem pergaulan, sistem sosial, hingga peraturan perundang-undangan.
Sayangnya, seluruh faktor tersebut tidak akan pernah terselesaikan dengan baik selama masyarakat masih dinaungi sistem Kapitalisme – Sekulerisme yang mengagungkan kebebasan dan meilai segala sesuat berdasarkan kemanfaatan materi. Inilah akar munculnya permasalahan aborsi dan segala turunannya.
Dan adalah tidak fair jika menuduh Islam tidak berpihak pada perempuan apalagi menuduh Islam mengkriminalisasi perempuan karena mengharamkan aborsi. Pengharaman aborsi beserta segala sanksi yang menyertainya hanyalah aspek hilir dari serangkaian tatanan Islam yang jika diterapkan secara utuh akan menekan angka aborsi hingga ke tingkat paling rendah yang dapat dibayangkan oleh dunia.
Jika bagian hulu yang mengatur aspek kehidupan masyarakat (politik, ekonomi, sistem sosial, dan sistem pergaulan) tidak diatur oleh Islam, maka jangan komentari aspek hilir (hukum pidana) yang Islam tentukan. Islam bukanlah petugas cleaning service yang membereskan kekacauan pasca pesta yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak melibatkannya. Jika menginginkan ruangan pesta tetap bersih dan rapi pasca pesta, maka ikutilah aturan main Islam sejak pesta dimulai.