Tanya :
Ustadz, izin bertanya terkait kewajiban menafkahi keluarga di saat keadaan sulit dan bagaimana batasan kewajibannya dan batasan jadi dosanya? (Mang Ano, Cianjur)
Jawab :
Jumhur fuqaha (Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) berpendapat, inilah yang rajih menurut kami, jika suami mengalami kesulitan memberi nafkah, maka kewajiban memberi nafkah tidaklah gugur dari suami.
Jadi, suami tetap wajib memberi nafkah, berapa pun juga nafkah yang dia berikan kepada istrinya, sesuai firman Allah SWT (artinya),”Hendaklah [suami] yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan barangsiapa yang disempitkan rezekinya hendaklah dia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS Ath Thalaq [65] : 7).
Menurut jumhur ulama, jika suami yang awalnya mampu (mûsir) lalu menjadi tidak mampu (mu’sir) memberi nafkah kepada istrinya karena suatu sebab, misal karena pandemi Corona saat ini, atau karena terkena PHK, dan sebagainya, maka nafkah itu menjadi utang atas suami, dan istri berhak menagih utang itu jika suami kembali mampu.
Imam Ibnu Qudamah berkata,”Barangsiapa [suami] yang tidak memberikan nafkah wajib bagi istrinya dalam jangka waktu tertentu, maka nafkah itu tidaklah gugur dari suami, dan statusnya menjadi utang yang menjadi tanggungan suami, baik suami tak menafkahi itu karena ada udzur syar’i maupun tanpa udzur syar’i. Inilah salah satu pendapat yang zhahir [dari Ahmad], juga mendapat Al Hasan Al Bashri, pendapat Malik, Asy Syafi’i, Ishaq bin Rahawaih, dan Ibnul Mundzir…” (Ibnu Qudâmah, Al Mughnî, Riyâdh : Dâr ‘Âlam Al Kutub, Cet. III, 1997, Juz XI, hlm. 366).
Adapun pilihan sikap yang diberikan Islam kepada istri, jika suami mengalami kesulitan memberi nafkah, adalah salah satu dari 3 (tiga) pilihan sbb :
Pertama, istri memilih bersabar, yakni menerima kondisi suami yang sedang mengalami kesulitan, dan menganggap nafkah yang tidak dibayarkan dari suami sebagai utang, sebagaimana penjelasan di atas.
Kedua, istri memilih bersabar, yakni menerima kondisi suami yang sedang mengalami kesulitan, namun istri melepaskan haknya (tanâzul ‘an al haq) untuk meminta nafkah, sesuai firman Allah SWT (artinya),“Dan pemaafan kamu (kepada suami) itu lebih dekat kepada takwa.” (QS Al Baqarah [2] : 237).
Ketiga, jika istri tidak bersabar, istri berhak minta cerai (furqah) dari suami kepada hakim syariah (qadhi), berdasarkan dalil Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma’ Shahabat.
Dalil Al Qur`an, firman Allah SWT (artinya),“Maka pertahankan [istri kamu] dengan ma’ruf atau ceraikan dengan cara yang baik.” (QS Al Baqarah [2] : 229).
Dalil As Sunnah, sabda Rasulullah SAW,”Istrimu termasuk orang yang wajib kamu tanggung, dia berkata,”Berilah aku makan, jika tidak, ceraikanlah aku.” (HR Ahmad dan Daraquthni). Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW berkata mengenai seorang laki-laki yang tidak mendapati apa yang dia nafkahkan untuk istrinya, sabda Nabi SAW,”Dipisahkan di antara keduanya.” (HR Daraquthni).
Dalil Ijma’ Shahabat, diriwayatkan Umar mengirim surat kepada para komandan pasukan perang mengenai para laki-laki yang meninggalkan istri-istrinya [untuk berperang],”Pilihannya; hendaklah mereka memberi nafkah [kepada istri-istri mereka], atau menceraikan dan mengirimkan nafkah yang selama ini mereka tahan.” (Imam Syaukânî, Nailul Authâr, 6/384). Imam Taqiyuddîn An Nabhânî mengomentari riwayat itu,“Hal tersebut telah diketahui oleh para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya, maka terjadilah Ijma’ Shahabat [mengenai dua pilihan bagi para suami tsb, yaitu memberi nafkah atau menceraikan istri].” (Taqiyuddîn An Nabhânî, An Nizhâm Al Ijtimâ’i fi Al Islâm, hlm. 158). Wallahu a’lam.
K.H. Muhammad Shiddiq al Jawi